Selasa, 18 Juni 2024

Hubabah Zahro, Samudera Kesabaran tak Bertepi


 “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal baik dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”

Siapakah orang yang paling kuat? Apakah orang yang punya kekuasaan? Berotot? Atau orang kaya yang bisa membeli apapun?  Namun kenyataannya tidak ada orang yang kuat, semua manusia adalah lemah, sebab manusia hanyalah makhluk Allah. Sang pemiliknya lah yang kuat. Jika Allah satu-satunya yang kuat, maka orang yang paling kuat adalah orang yang kuat kepasrahannya kepada Allah, yang paling sntai bersandar kepada Allah, yang paling mantap kebergantungannya pada Allah. Salah satunya adalah Hubabah Zahro, Ibunda Habib Umar Bin Hafidz.

Beliau menikah pada usia 18 tahun. Setelah menikah mereka hidup sederhana, bahkan perkakas yang dipunyai adalah tiga piring, 1 panci dan sebuah sendok yang ujungnya patah. Namun beliau bangga karena Allah telah memilihkan kehidupan pengantin baru yang mirip dengan kehidupan Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah. Beliau tinggal tinggal di rumah yang sangat kecil, hanya terdiri dari dua ruangan dan 1 kamar mandi. Saat ayahanda Habib Umar mengadakan majelis, ibunda harus naik ke atas loteng yang tidak beratap. Pada musim panas, cuacanya bisa mencapai 50 derajat celcius dan beliau duduk disana selama berjam-jam, bermandikan air keringat.

Dalam kesederhanaan inilah kekuatan hati Hubabah Zahra teruji. Kesabaran yang tak pernah mengeluh, merasa kecil hati atau protes atas keputusan Allah. Bahkan beliau selalu bersyukur karena Allah pilihkan kehidupan yang mirip dengan Sayyidah Fatimah. Kekuatan hati inilah yang membuat beliau kokoh berdiri tegak saat badai menerpa. Hingga pada ujian yang maha dahsyat datang, yaitu hilangnya sang suami tercinta. Suami beliau diculik oleh kaum komunis yang menjajah Yaman saat berangkat sholat jumat ke masjid.

Banyak hari berlalu dalam kesedihan, pengharapan suaminya akan kembali, namun kenyataannya suami yang ditunggu tak kunjung pulang. Ujian ini beliau hadapi dengan bersenjatakan sabar dan kuatnya hubungan dengan Allah. Beliau yakin bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik. Beliau selalu mengajarkan apada anak-anaknya bahwa Allah tak akan pernah meninggalkannya. Beliau mengajarkan untuk selalu ridha kepada Allah dan menekankan kepada anak-anak beliau untuk memaafkan kejahatan yang telah diperbuat kepada mereka. Tak ada dendam, tak ada permusuhan dan tak ada kebencian. Bahkan beliau meminta anak-anaknya mendoakan yang telah mendzolimi mereka agar memperoleh hidayah. Beliau selalu berpegang teguh pada Sabda Rasulullah “berbuat baiklah bahkan kepada mereka yang berbuat jahat padamu” (HR Muslim).

Suatu ketika salah satu murid Habib Umar, Habib Ali Aljufri bercerita bahwa beliau didatangi oleh orang yang mengaku menculik Ayahanda Habib Umar. Beliau meminta agar permohonan maafnya disampaikan kepada Habib Umar. Saat Habib Uli Aljufri menyampaikan, Habib umar menjawab, “kami sudah memaafkan sejak dulu”.

Masyaallah kisah teladan yang sangat menyentuh hati. Saat beliau di dzolimi dengan sebegitunya, beliau telah memaafkan, bahkan sebelum pelaku meminta maaf. Sedangkan orang-orang yang menjahati kita tak sekejam yang dialami keluarga Habib Umar, tapi kenapa kita masih saja belum bisa memaafkan kesalahan orang lain. Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. Semoga Allah mudahkan hati kita untuk menerima segala ketepan Allah dan mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Sumber: Buku Bidadari Bumi 2 karya Ustadzah Halimah Alaydrus

6 komentar:

  1. Huaaaa.. Tulisan karya ustadzah Halimah bagus-bagus, ya. Ringan dan sarat makna

    BalasHapus
  2. Bagus sekali kisahnya. Sarat pesan dan makna.

    BalasHapus
  3. kisah keteladanan dan kesabaran perempuan solihah dimasa itu, masyaallah.

    BalasHapus
  4. Tulisan melekat setelah dibaca kak

    BalasHapus
  5. Kisah teladan banget. Terimakasih kak. Tulisannya bermanfaat

    BalasHapus