“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal baik dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”
Siapakah orang yang paling kuat? Apakah orang yang punya
kekuasaan? Berotot? Atau orang kaya yang bisa membeli apapun? Namun kenyataannya tidak ada orang yang kuat,
semua manusia adalah lemah, sebab manusia hanyalah makhluk Allah. Sang pemiliknya
lah yang kuat. Jika Allah satu-satunya yang kuat, maka orang yang paling kuat
adalah orang yang kuat kepasrahannya kepada Allah, yang paling sntai bersandar
kepada Allah, yang paling mantap kebergantungannya pada Allah. Salah satunya
adalah Hubabah Zahro, Ibunda Habib Umar Bin Hafidz.
Beliau menikah pada usia 18 tahun. Setelah menikah mereka
hidup sederhana, bahkan perkakas yang dipunyai adalah tiga piring, 1 panci dan
sebuah sendok yang ujungnya patah. Namun beliau bangga karena Allah telah
memilihkan kehidupan pengantin baru yang mirip dengan kehidupan Sayyidah
Fatimah, putri Rasulullah. Beliau tinggal tinggal di rumah yang sangat kecil,
hanya terdiri dari dua ruangan dan 1 kamar mandi. Saat ayahanda Habib Umar
mengadakan majelis, ibunda harus naik ke atas loteng yang tidak beratap. Pada musim
panas, cuacanya bisa mencapai 50 derajat celcius dan beliau duduk disana selama
berjam-jam, bermandikan air keringat.
Dalam kesederhanaan inilah kekuatan hati Hubabah Zahra
teruji. Kesabaran yang tak pernah mengeluh, merasa kecil hati atau protes atas
keputusan Allah. Bahkan beliau selalu bersyukur karena Allah pilihkan kehidupan
yang mirip dengan Sayyidah Fatimah. Kekuatan hati inilah yang membuat beliau
kokoh berdiri tegak saat badai menerpa. Hingga pada ujian yang maha dahsyat
datang, yaitu hilangnya sang suami tercinta. Suami beliau diculik oleh kaum komunis
yang menjajah Yaman saat berangkat sholat jumat ke masjid.
Banyak hari berlalu dalam kesedihan, pengharapan suaminya
akan kembali, namun kenyataannya suami yang ditunggu tak kunjung pulang. Ujian ini
beliau hadapi dengan bersenjatakan sabar dan kuatnya hubungan dengan Allah. Beliau
yakin bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik. Beliau selalu mengajarkan
apada anak-anaknya bahwa Allah tak akan pernah meninggalkannya. Beliau mengajarkan
untuk selalu ridha kepada Allah dan menekankan kepada anak-anak beliau untuk
memaafkan kejahatan yang telah diperbuat kepada mereka. Tak ada dendam, tak ada
permusuhan dan tak ada kebencian. Bahkan beliau meminta anak-anaknya mendoakan
yang telah mendzolimi mereka agar memperoleh hidayah. Beliau selalu berpegang
teguh pada Sabda Rasulullah “berbuat baiklah bahkan kepada mereka yang berbuat
jahat padamu” (HR Muslim).
Suatu ketika salah satu murid Habib Umar, Habib Ali Aljufri
bercerita bahwa beliau didatangi oleh orang yang mengaku menculik Ayahanda
Habib Umar. Beliau meminta agar permohonan maafnya disampaikan kepada Habib
Umar. Saat Habib Uli Aljufri menyampaikan, Habib umar menjawab, “kami sudah
memaafkan sejak dulu”.
Masyaallah kisah teladan yang sangat menyentuh hati. Saat beliau di dzolimi dengan sebegitunya, beliau telah memaafkan, bahkan sebelum pelaku meminta maaf. Sedangkan orang-orang yang menjahati kita tak sekejam yang dialami keluarga Habib Umar, tapi kenapa kita masih saja belum bisa memaafkan kesalahan orang lain. Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. Semoga Allah mudahkan hati kita untuk menerima segala ketepan Allah dan mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Sumber: Buku Bidadari Bumi 2 karya Ustadzah Halimah Alaydrus
Huaaaa.. Tulisan karya ustadzah Halimah bagus-bagus, ya. Ringan dan sarat makna
BalasHapusBagus sekali kisahnya. Sarat pesan dan makna.
BalasHapuskisah keteladanan dan kesabaran perempuan solihah dimasa itu, masyaallah.
BalasHapusPengen baca bukunya juga...
BalasHapusTulisan melekat setelah dibaca kak
BalasHapusKisah teladan banget. Terimakasih kak. Tulisannya bermanfaat
BalasHapus